Kuningan, faktainfokom.com
Pembangunan objek wisata di Kelurahan Cigugur kembali menjadi sorotan. Sejumlah aktivitas pembangunan di wilayah tersebut dinilai tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan tata ruang yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan 2011–2031.
Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan Cigugur berkembang pesat dengan munculnya permukiman baru, usaha kuliner, bangunan komersial, destinasi wisata, serta aktivitas pertanian dan peternakan. Namun, perkembangan tersebut menimbulkan sejumlah persoalan lingkungan, seperti alih fungsi lahan, potensi longsor, banjir di wilayah yang berada lebih rendah, pencemaran sungai akibat limbah usaha dan rumah tangga, hingga penurunan debit air.
Melihat kondisi tersebut, regulasi tata ruang yang sistematis dan tegas dinilai menjadi kebutuhan mendesak agar pembangunan di Cigugur berjalan sesuai peruntukan lahan dan tetap menjaga daya dukung lingkungan.
Hingga kini, RTRW 2011–2031 menjadi satu-satunya regulasi tata ruang yang berlaku di Kabupaten Kuningan. Namun implementasinya membutuhkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) agar batasan pembangunan, zonasi lahan, persentase area terbangun, ketentuan konstruksi, hingga pengelolaan limbah dapat diatur lebih rinci.
Sejumlah polemik di Cigugur diduga berawal dari kekeliruan dalam memahami RTRW, terutama karena kawasan Kuningan–Cigugur dikategorikan sebagai permukiman perkotaan berdasarkan Pasal 49 ayat 1 huruf b. Ketentuan tersebut sering ditafsirkan sebagai pembolehan seluruh jenis pembangunan pendukung permukiman, termasuk usaha kuliner, perkantoran, hiburan, hingga tempat wisata.
Padahal, ketentuan tersebut bersifat umum dan tidak dapat digunakan tanpa penjabaran melalui RDTR.
Pembangunan wisata Arunika menjadi salah satu proyek yang banyak dikritik masyarakat. Berdasarkan Pasal 48 RTRW, kawasan pariwisata dibagi ke dalam tiga jenis: pariwisata alam, budaya, dan buatan. Sebagai objek wisata buatan, Arunika seharusnya didirikan pada zona yang diperuntukkan bagi pariwisata buatan.
Namun dalam dokumen RTRW 2011–2031, kawasan Kelurahan Cigugur dan sebagian Desa Cisantana lokasi pembangunan Arunika—tidak termasuk dalam zona pariwisata, baik alam, budaya, maupun buatan. Hal ini memunculkan pertanyaan publik terkait dasar regulasi dan legalitas pembangunan tersebut.
RTRW juga menetapkan Cigugur sebagai kawasan dengan fungsi strategis lingkungan, antara lain:
kawasan resapan air (Pasal 29),
kawasan pelestarian alam dan cagar budaya termasuk TNGC dan Cagar Budaya Paseban (Pasal 31),
kawasan rawan longsor (Pasal 32),
kawasan rawan bencana erupsi Gunung Ciremai (Pasal 33),
kawasan strategis berdasarkan fungsi dan daya dukung lingkungan (Pasal 53).
Pada Pasal 63, kawasan lindung seperti Cigugur hanya diperbolehkan memiliki maksimal 10 persen area terbangun, menggunakan arsitektur lokal, serta membangun akses jalan dengan lebar maksimal 4 meter tanpa pengerasan.
Dengan berbagai ketentuan tersebut, setiap perizinan pembangunan di Cigugur seharusnya mengacu secara ketat pada RTRW Kabupaten Kuningan 2011–2031, termasuk penerapan sanksi bagi pihak yang melanggar sebagaimana diatur dalam Pasal 106 dan 107.
Agar tidak terjadi konflik antara kepentingan lingkungan, ekonomi masyarakat, dan pengembangan wisata, Pemerintah Kabupaten Kuningan dinilai perlu segera menyusun RDTR Perkotaan Kuningan–Cigugur sebagaimana amanat Pasal 57 RTRW.
“Setiap bentuk perizinan pembangunan, termasuk objek wisata, harus berlandaskan RTRW Kabupaten Kuningan 2011–2031. Masyarakat juga berhak memperoleh informasi tata ruang secara transparan,” ujar Manap Suharnap, mewakili Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI), didampingi H. Rahmat Nugraha, saat memberikan keterangan kepada wartawan, Jumat (5/12/2025).
FORMASI berharap Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak mengulangi kesalahan tata ruang yang terjadi di berbagai daerah lain yang berujung pada bencana ekologis seperti banjir bandang dan longsor.
|anhad|







