Aksi Solidaritas Kuningan: Seruan dari Tengah Bencana, Peringatan untuk Kehidupan di Kaki Gunung Ciremai

Kuningan, faktainfokom.com

Di tengah ramainya Car Free Day pada Minggu pagi, 7 Desember 2025, sejumlah aktivis, komunitas, dan elemen masyarakat Kuningan berkumpul dalam sebuah gerakan spontan: Aksi Solidaritas Peduli Bencana Nasional. Tanpa seremoni berlebihan, mereka menggelar kotak donasi, membentangkan spanduk solidaritas, dan mengajak ribuan warga untuk peduli terhadap saudara-saudara di Sumatera, Aceh, dan Sulawesi yang baru saja dilanda bencana.

Namun aksi ini bukan hanya soal mengumpulkan rupiah demi membantu korban. Di balik kegiatan amal itu ada pesan keras yang ingin disampaikan: bencana bukan semata fenomena alam melainkan akibat dari keserakahan manusia.

Dalam sambutannya, Ustadz Luqman Maulana, tokoh sosial-keagamaan Kuningan, menegaskan bahwa aksi penggalangan dana ini hanyalah langkah kecil. Yang terpenting, katanya, adalah mengetuk nurani pemerintah daerah, para pejabat publik, pengusaha, dan masyarakat agar kembali melihat akar persoalan.

“Musibah yang menimpa saudara-saudara kita bukan karena ulah alam. Alam bisa memperbaiki kerusakan yang datang dari alam. Tetapi alam tidak akan sanggup memperbaiki kerusakan akibat ulah manusia,” tegasnya.

Ustadz Luqman menilai, bencana yang beruntun seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, dan kerakusan ekonomi telah menciptakan situasi yang jauh dari keseimbangan ekologis.

Sambutan lain datang dari Ustadz Ade Supriadi, aktivis sosial keagamaan dan pembina mualaf ini mengingatkan bahwa Kuningan sendiri sedang berada di ujung jurang ancaman yang sama.

Ia menyoroti kawasan kaki Gunung Ciremai, daerah yang seharusnya menjadi ruang resapan air dan benteng ekologis Kuningan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, kawasan ini justru berubah menjadi pusat pertumbuhan wisata yang tidak terkendali.

“Tempat wisata menjamur tanpa arah, tanpa kendali. Jika ini dibiarkan, Kuningan hanya tinggal menunggu waktu untuk mengalami bencana yang sama seperti di Sumatera, Aceh, dan Sulawesi,” ujarnya.

Peringatan itu bukan tanpa dasar. Beberapa waktu lalu, Kuningan sudah diguncang longsor di kawasan wisata terbesar di lereng Ciremai. Tetapi peristiwa itu seolah dipahami sekadar musibah musiman, bukan akibat tata ruang yang rusak.

Lebih parah lagi, menurut informasi yang beredar, pemilik kawasan wisata tersebut kini justru melakukan perluasan pembukaan lahan untuk mendukung pembangunan hotel yang berdiri tepat di bibir lereng gunung.

Kritik tajam juga dialamatkan kepada para pengusaha dan pemerintah daerah. Pembangunan wisata memang memberikan pemasukan bagi PAD, tetapi jika dilakukan serampangan, konsekuensinya dapat menghancurkan fondasi ekologis yang menopang kehidupan.

“Jangan hanya pikirkan imbal balik ekonomi. Jika alam runtuh, bisnis juga akan tumbang. Kehidupan warga akan terguncang,” ujar Ustadz Ade.

Aktivis menilai, pemerintah daerah cenderung memberi karpet merah pada pengusaha untuk memperluas usaha wisata tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan, daya dukung lahan, ataupun risiko runtuhnya lereng gunung.

Kuningan, yang selama ini dikenal sebagai daerah dengan kesejukan dan keseimbangan alam, terancam berubah jika eksploitasi terus dibiarkan.

Aksi solidaritas ini bukan hanya panggilan kepedulian terhadap korban bencana di wilayah lain. Ini adalah cermin untuk melihat diri sendiri: apakah Kuningan sedang berjalan di jalur yang sama menuju bencana?

Para peserta aksi mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali menjaga alam, tidak membiarkan kerakusan mengalahkan akal sehat, dan menuntut pemerintah daerah membuat kebijakan tegas terkait tata ruang, pengelolaan wisata, dan perlindungan kawasan konservasi.

“Saat musibah datang, penyesalan tidak ada artinya. Kuningan harus bertindak sekarang,” ujar para aktivis dalam pernyataan penutupnya.

Gunung Ciremai bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah warisan, penjaga air, penyangga kehidupan, dan fondasi kesejahteraan masyarakat Kuningan.

Dan jika warga abai, jika pemerintah tidak tegas, jika pengusaha hanya mengejar keuntungan jangka pendek maka bencana bukan hanya kemungkinan, tetapi kepastian yang tinggal menunggu waktu.

| anhad |

Pos terkait