FORMASI: Pembangunan di Kawasan Konservasi Cigugur Diduga Langgar RTRW dan UU Lingkungan

Kuningan, faktainfokom.com

Perwakilan Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI), Rokhim Wiyono menegaskan bahwa setiap bentuk pemanfaatan lahan di kawasan konservasi, khususnya di wilayah Cigugur yang termasuk zona penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), wajib mematuhi seluruh regulasi perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Rokhim, secara tata ruang penggunaan lahan di Cigugur telah diatur secara jelas dalam Perda Kabupaten Kuningan Nomor 26 tentang RTRW Kabupaten Kuningan Tahun 2011–2031. Dalam regulasi tersebut, kawasan Cigugur ditetapkan memiliki fungsi lindung dan resapan air, sehingga segala bentuk pembangunan harus melalui mekanisme perizinan yang ketat.

“Kepemilikan lahan di kawasan konservasi memang beragam, ada lahan negara, lahan adat, lahan pemerintah daerah, hingga lahan masyarakat. Tetapi perbedaan status lahan tidak menghilangkan kewajiban untuk tunduk pada aturan. Penggunaannya tetap harus sesuai regulasi,” ujar Rokhim.

Ia menyoroti penjelasan manajemen Puspita Cipta Group yang dinilai tidak konsisten. Di satu sisi disebutkan belum ada rencana pembangunan, namun di lapangan justru terlihat adanya pembangunan hotel di kawasan tersebut.

Rokhim juga mempertanyakan penggunaan alat berat yang diklaim untuk kepentingan reboisasi dan pembangunan hutan tematik. Menurutnya, kegiatan pembuatan jalan dan pembukaan lahan dengan alat berat justru berpotensi merusak fungsi konservasi kawasan.

“Jika yang diklaim adalah reboisasi dan laboratorium alam, mengapa terjadi penebangan dan pengikisan lahan? Kenapa harus menanam kembali, sementara yang menebang adalah pihak yang sama. Ini menjadi kontradiksi yang patut dipertanyakan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Rokhim menjelaskan bahwa konsep hutan tematik, laboratorium alam, hingga agrowisata tetap masuk dalam kategori usaha pariwisata, sehingga secara hukum wajib memiliki dokumen AMDAL atau UKL-UPL sebelum kegiatan dilaksanakan.

Menurut FORMASI, seluruh penjelasan yang disampaikan manajemen Puspita Cipta Group belum menyentuh akar persoalan, yakni kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan tata ruang di kawasan konservasi resapan air.

“Ini bukan soal narasi atau klarifikasi, tetapi soal kepatuhan hukum. Kawasan konservasi memiliki perlakuan khusus. Tidak bisa disamakan dengan kawasan budidaya,” lanjut Rokhim.

Ia menambahkan, masyarakat kini mulai mempertanyakan apakah pembangunan hotel dan fasilitas wisata di kawasan Arunika telah memiliki izin lingkungan dan AMDAL yang sah. Keraguan publik tersebut, kata Rokhim, wajar muncul akibat minimnya transparansi perizinan.

FORMASI juga menilai bahwa persoalan pembangunan di Cigugur tidak berdiri sendiri. Banyak objek wisata di wilayah tersebut diduga berkembang tanpa mengacu pada RTRW dan regulasi lingkungan hidup secara konsisten. Jika kondisi ini terus dibiarkan, dampaknya dikhawatirkan memperparah kerusakan lahan di wilayah Gunung Ciremai.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rokhim menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta menindak tegas setiap aktivitas pembangunan yang dilakukan tanpa izin lingkungan.

“Kami meminta Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan bertindak tegas. Jangan sampai pembangunan berjalan lebih dulu, sementara perizinan menyusul belakangan. Secara hukum, itu tetap merupakan pelanggaran,” pungkas Rokhim.

FORMASI mendesak agar dilakukan pengusutan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran penggunaan lahan di kawasan konservasi Cigugur, serta penegakan aturan RTRW secara konsisten demi menjaga kelestarian Gunung Ciremai dan keselamatan lingkungan jangka panjang.

( anhad )

Pos terkait