Kuningan, faktainfokom.com
Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI) melontarkan kritik terhadap kegiatan reses Anggota DPR RI Komisi XII, Rohmat Ardiyan, yang dilaksanakan di Kabupaten Kuningan. FORMASI menilai agenda tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan fungsi penyerapan aspirasi rakyat, melainkan berpotensi berkaitan dengan upaya meredam polemik publik mengenai dugaan pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada pembangunan dan pengembangan kawasan wisata buatan Arunika.
Ketua FORMASI, Manap Suharnap, menyebut lokasi pembangunan wisata tersebut berada di kawasan lahan kritis yang memiliki fungsi strategis sebagai daerah resapan air. Namun dalam praktiknya, fungsi ekologis kawasan tersebut justru dinilai tergerus akibat pembangunan fisik berskala besar berbasis beton, termasuk area parkir dan rencana pendirian hotel.
“Dampaknya bukan hanya persoalan administratif tata ruang, tetapi juga menyangkut keberlanjutan lingkungan. Ketika kawasan resapan air berubah menjadi area terbangun, masyarakat yang akan menanggung risikonya,” ujar Manap.
FORMASI juga menyoroti pelaksanaan reses yang terpusat di Kabupaten Kuningan. Menurut Manap, fokus tersebut dinilai tidak mencerminkan keadilan representasi, mengingat daerah pemilihan yang sama juga mencakup Kabupaten Ciamis, Pangandaran, dan Kota Banjar.
“Reses seharusnya menjadi ruang yang merata bagi seluruh konstituen. Jika hanya terfokus di satu wilayah, wajar bila publik mempertanyakan latar belakang dan kepentingan di baliknya,” katanya.
Selain itu, FORMASI menilai terdapat indikasi tumpang tindih antara kepentingan publik dan kepentingan usaha pribadi dalam rangkaian kegiatan reses tersebut. Manap menegaskan bahwa jabatan sebagai wakil rakyat tidak boleh digunakan untuk memberikan legitimasi terhadap ekspansi bisnis.
“Etika publik menuntut adanya pemisahan yang tegas antara kepentingan pribadi dan kewenangan jabatan,” ujarnya.
Kritik FORMASI semakin menguat dengan sorotan terhadap alokasi anggaran pusat sekitar Rp300 miliar untuk pembangunan Jalan Lingkar Timur Selatan (JLTS). Menurut Manap, besarnya anggaran tersebut patut dikaji secara transparan, terutama karena kawasan tersebut dikaitkan dengan rencana pengembangan destinasi wisata berskala besar.
“Ketika proyek infrastruktur beririsan dengan kepentingan usaha tertentu, publik berhak menuntut kejelasan dan akuntabilitas,” tegasnya.
FORMASI menyatakan akan terus mengawal isu ini dan mendesak pemerintah serta aparat penegak hukum untuk melakukan audit menyeluruh terhadap aspek tata ruang, lingkungan, serta potensi konflik kepentingan. Langkah tersebut dinilai penting agar pembangunan berjalan sesuai aturan hukum, menjaga kelestarian lingkungan, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
| red/anhad |







