Dugaan Korupsi Pengadaan BBM di UIN Walisongo Semarang

Proyek Solar Genset UIN Walisongo Semarang

Semarang, faktainfokom.com

Dugaan praktik korupsi dan penyimpangan dalam pengadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar untuk genset di Kampus 2 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang mulai terungkap.

Temuan ini bermula dari keterangan salah satu sumber yang mengaku menjadi korban dalam proses pengadaan tersebut.

Menurut pengakuan sumber yang terlibat dalam pengadaan itu, pihaknya mendapat tawaran untuk menjadi pemasok solar bagi kebutuhan operasional genset di Kampus 2 UIN Walisongo pada Januari 2025.

Penawaran yang diajukan secara resmi dengan dokumen lengkap itu diterima oleh pejabat pengelola barang milik negara (BMN) berinisial MHN, yang saat itu menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).

Sumber mengaku telah menandatangani kesepakatan kerja sama dengan nilai sekitar Rp80 juta untuk satu kali pengiriman solar industri dengan harga Rp16.000 per liter.

Sistem pembayaran yang disepakati adalah COD atau maksimal tempo dua minggu setelah barang diterima, namun dalam pelaksanaannya, pembayaran baru diterima setelah lebih dari satu bulan.

Lebih janggal lagi, pembayaran yang diterima tidak melalui mekanisme resmi pemerintah, melainkan dilakukan secara tunai.

“Kita dibayar tunai, bukan lewat KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara). Padahal, seharusnya semua transaksi di lembaga negara wajib melalui kas negara,” ungkap sumber tersebut.

Pembayaran tunai tersebut juga disertai kuitansi.

Namun, jumlah yang diterima tidak penuh. Dari total nilai kontrak Rp80 juta, sumber hanya menerima sekitar Rp70 juta karena dipotong PPN tanpa kejelasan setoran pajaknya.

“Di dalam kwitansi dibubuhkan pembayaran cash non SPJ, bahasa dari pejabat tersebut uang pembayaran tersebut ditalangi olehnya,” ujarnya.

Kejanggalan lain muncul saat sumber ditawari untuk membuat dua dokumen kontrak (SPK) terpisah senilai Rp40 juta masing-masing. Alasannya, agar meringkas administrasi.

“Mereka bilang supaya lebih mudah, jadi dibuat dua SPK,” ujarnya.

Namun setelah pengiriman pertama, kontrak langsung diputus sepihak oleh pihak kampus. Sumber menilai keputusan tersebut dilakukan untuk menutupi praktik pengadaan solar sebelumnya yang diduga menggunakan modus “pinjam bendera” perusahaan lain.

Hasil investigasi lapangan yang dilakukan sumber mengungkap bahwa sebelum kontrak resmi tersebut, pihak kampus biasa memperoleh solar dengan cara “ngangsu” atau mengambil sendiri dari SPBU menggunakan jirigen yang diangkut menggunakan mobil milik kampus.

Laporan pertanggungjawabannya kemudian dibuat seolah-olah pembelian dilakukan dari pihak ketiga.

Lebih mencurigakan, dalam komunikasi dengan pejabat kampus, sumber mendapat informasi bahwa dalam pengadaan sebelumnya pihak kampus “meminjam bendera” perusahaan lain dan memberikan kompensasi sebesar 2,5% dari nilai transaksi kepada pemilik bendera tersebut.

“Artinya mereka membuat laporan seolah resmi, padahal solar diambil langsung dan benderanya hanya dipinjam untuk laporan administrasi,” jelasnya.

Sumber menduga ada selisih harga yang dimanipulasi dalam laporan keuangan. Harga resmi solar industri dari Pertamina saat itu Rp21.000 per liter, sementara penawaran dari sumber Rp16.000.

“Selisihnya bisa sampai Rp5.000 per liter. Dalam percakapan WhatsApp, disebut selisih itu untuk ‘lembaga’,” ujarnya.

Sumber juga mengaku pernah dimintai uang tambahan Rp1.000 hingga Rp2.000 per liter oleh oknum kampus, dengan alasan “partisipasi lembaga”.

“Kami sudah berusaha mengikuti prosedur, tapi justru malah diminta tambahan di luar ketentuan,” tambahnya.

Setelah kontrak diputus, sumber berupaya meminta klarifikasi dan mengirim surat teguran pertama pada 30 April 2025, namun tidak mendapat tanggapan.

Surat klarifikasi kedua dikirim pada 23 September 2025, tetapi hingga kini juga belum ada jawaban dari pihak UIN Walisongo.

“Kami sudah dua kali kirim surat resmi, tapi tidak pernah dijawab. Karena itu kami akan tetap melanjutkan dugaan temuan ini sampai terang benerang,” tegasnya.

Ia menambahkan akan menindaklanjuti kepada Aparat Penegak Hukum, Kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ombudsman, serta Direktorat Jenderal Kementerian Agama.

Pihaknya juga meminta agar dilakukan audit investigatif serta membuka akses informasi publik mengenai pengadaan BBM di lingkungan kampus tersebut.

“Kami hanya ingin kejelasan, bukan hanya soal pembayaran, tapi juga transparansi penggunaan anggaran negara,” ujarnya.

Dugaan penyimpangan ini menguatkan indikasi adanya praktik mal-administrasi, pinjam bendera, dan pengadaan fiktif di lingkungan kampus negeri.

Rektor UIN Walisongo Semarang,  Prof. Nizar, M.Ag melalui sekretarisnya, Cholis saat dikonfirmasi mengatakan tidak tahu mengenai hal tersebut.

“Bapak (Rektor UIN Walisongo Semarang-red) malah ga tau soal itu,” ujarnya, Jumat (31/10). (Tri)

Pos terkait