Kuningan, faktainfokom.com
Polemik aktivitas pembangunan di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), khususnya di wilayah Cigugur, kembali mencuat. Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI) menilai penjelasan manajemen Puspita Cipta Group terkait kegiatan di kawasan tersebut belum menjawab substansi persoalan, terutama menyangkut kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan tata ruang.
Ketua FORMASI, Manap Suharnap, menegaskan bahwa setiap bentuk pemanfaatan ruang di kawasan konservasi wajib mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Daerah. Menurutnya, kawasan konservasi memiliki fungsi ekologis vital sebagai daerah resapan air yang tidak dapat diperlakukan seperti kawasan budidaya atau komersial.
“Kawasan konservasi memiliki aturan yang sangat ketat. Pemanfaatan ruang tidak bisa didasarkan pada kepentingan bisnis, melainkan harus tunduk sepenuhnya pada regulasi,” ujar Manap dalam keterangannya, Selasa (10/12/2025).
Ia mengingatkan bahwa tata ruang wilayah Cigugur telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011–2031. Meskipun di dalam kawasan tersebut terdapat beragam status kepemilikan lahan, mulai dari lahan negara, adat, hingga milik masyarakat, seluruhnya tetap terikat pada ketentuan tata ruang dan perlindungan lingkungan.
FORMASI menilai adanya ketidaksesuaian antara penjelasan pihak manajemen dengan kondisi di lapangan. Di satu sisi, pihak pengelola menyebut belum memiliki rencana pembangunan, namun di sisi lain telah berdiri bangunan hotel serta dilakukan pembukaan akses jalan menggunakan alat berat dan pengelolaan lahan dalam skala besar.
Menurut Manap, alasan pembangunan jalan untuk pengangkutan bibit pohon maupun persiapan hutan tematik dan arboretum tidak serta-merta menghapus kewajiban kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konservasi. Ia menegaskan bahwa kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan di kawasan resapan air memiliki standar dan ketentuan yang tidak bisa dilakukan sembarangan.
FORMASI juga menyoroti rencana pengembangan hutan tematik, arboretum, dan agrowisata yang dinilai masuk dalam kategori usaha pariwisata. Oleh karena itu, seluruh tahapan kegiatan tersebut wajib didahului dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau dokumen lingkungan lain yang dipersyaratkan.
“Penamaan kegiatan tidak mengubah kewajiban hukumnya. Selama masuk kategori usaha pariwisata dan berpotensi berdampak terhadap lingkungan, maka kajian lingkungan menjadi syarat mutlak,” kata Manap.
Lebih lanjut, FORMASI meminta kejelasan terkait aspek perizinan bangunan hotel Arunika yang telah berdiri di kawasan resapan air. Keberadaan bangunan tersebut menimbulkan pertanyaan publik mengenai proses perizinan dan pemenuhan dokumen lingkungan yang seharusnya menjadi prasyarat.
Menurut FORMASI, persoalan serupa tidak hanya terjadi pada satu proyek. Aktivitas pembangunan objek wisata di wilayah Cigugur dan lereng Gunung Ciremai kerap berjalan tanpa kelengkapan izin dan kajian lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak ekologis jangka panjang.
FORMASI merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur kewajiban pemerintah menjaga kawasan lindung, keharusan penyusunan AMDAL atau UKL-UPL, serta sanksi administratif dan pidana bagi pelanggaran lingkungan.
“Kegiatan tanpa izin lingkungan memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan dan harus menjalankannya secara konsisten,” tegas Manap.
Di akhir pernyataannya, FORMASI mendesak Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk melakukan penelusuran menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi serta mengambil langkah tegas sesuai ketentuan hukum.
“Upaya perlindungan kawasan konservasi harus menjadi prioritas. Penegakan hukum yang konsisten diperlukan agar fungsi ekologis Gunung Ciremai tetap terjaga untuk generasi mendatang,” pungkasnya.
| anhad |







