Citra Hijau Joglo Arunika Dipertanyakan, Formasi Dorong Audit Lingkungan

Kuningan, faktainfokom.com

Analisis vegetasi berbasis citra satelit terhadap kawasan sekitar objek wisata Joglo Arunika, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, memunculkan temuan penting yang berbeda dari narasi publik selama ini. Dominasi warna hijau yang kerap ditampilkan sebagai simbol keberhasilan penghijauan dan kepedulian lingkungan, ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan hasil reboisasi atau pengelolaan ekosistem oleh pihak pengelola.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar tutupan hijau di kawasan tersebut merupakan dampak pemulihan alami (natural recovery). Area yang ditandai dengan warna hijau muda pada citra satelit mengindikasikan dominasi vegetasi semak dan tanaman cepat tumbuh, terutama kaliandra, yang secara alami berkembang pada lahan terbuka dan bekas area gersang.

Fenomena ini sejalan dengan pernyataan manajemen Joglo Arunika yang mengakui bahwa tanaman kaliandra di kawasan tersebut tengah ditebang dan direncanakan akan digantikan dengan tanaman keras produktif. Namun, pola vegetasi yang terbaca satelit memperlihatkan bahwa pertumbuhan kaliandra lebih mencerminkan proses ekologis alami ketimbang hasil program penghijauan terencana.

Sebaliknya, area yang ditandai dengan warna hijau tua atau hijau gelap menunjukkan keberadaan vegetasi pohon besar dan tanaman keras, seperti pinus, jati, nangka, durian, serta jenis pohon berkayu lainnya. Vegetasi jenis ini dikenal memiliki fungsi strategis sebagai penyangga ekosistem, pengendali erosi, serta penjaga keseimbangan tata air.

Pengurus Forum Masyarakat Sipil Independen (Formasi) sekaligus Sekretaris Jenderal GAMAS Kabupaten Kuningan, H. Rahmat Nugraha, menilai pemaknaan atas citra satelit tersebut perlu diluruskan agar tidak menyesatkan publik.

“Hijau yang terlihat tidak bisa langsung diklaim sebagai hasil campur tangan manusia. Yang dominan justru kerja alam. Lahan kosong secara alami tertutup kembali oleh semak-semak melalui mekanisme penyebaran biji oleh angin maupun satwa,” ujarnya, Sabtu (13/12/2025).

Rahmat menjelaskan, vegetasi hasil reboisasi atau perkebunan umumnya memiliki pola tanam yang jelas dan teratur, dengan tanaman yang tumbuh menjulang dan berjarak rapi. Sebaliknya, hamparan hijau muda yang merata dan menyerupai karpet lebih mencerminkan vegetasi liar atau tanaman semusim yang belum dapat dikategorikan sebagai hutan atau kebun produktif.

Formasi juga menyoroti adanya kontradiksi antara narasi kepedulian lingkungan yang disampaikan pengelola Joglo Arunika dengan kondisi faktual di lapangan. Pembabatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga ekologis dinilai bertolak belakang dengan klaim pembangunan berwawasan lingkungan.

“Jika memang mengusung konsep ramah lingkungan, maka perlu dijelaskan secara terbuka peruntukan RTH yang ada. Mengapa justru kawasan hijau dibuka dan ditebang? Transparansi menjadi kunci,” tegas Rahmat.

Kekhawatiran juga datang dari masyarakat setempat. Gunawan, warga Kecamatan Cigugur, menilai pembangunan kawasan Joglo Arunika telah melampaui fungsi wisata dan berpotensi mengancam ruang hidup warga. Ia menduga terdapat kepentingan strategis lain, terutama terkait potensi mata air panas Cilengkrang.

“Akses yang dulu terbuka bagi masyarakat kini semakin terbatas. Kami melihat ini bukan sekadar pengembangan wisata, tetapi ada indikasi penguasaan sumber daya alam,” ujarnya.

Menurut Gunawan, dampak pembangunan telah dirasakan langsung oleh para petani. Aliran air yang selama ini menopang pertanian warga dilaporkan terputus, lahan produktif mengalami kerusakan, dan keseimbangan lingkungan terganggu. Ia juga menyoroti keberadaan sumur bor di kawasan pertanian yang berdekatan dengan area wisata.

“Air petani terputus, lahan rusak, lalu muncul sumur bor di tengah kawasan pertanian. Ini bukan lagi soal investasi, tetapi menyangkut keberlanjutan hidup masyarakat,” katanya.

Atas kondisi tersebut, warga mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk melakukan audit lingkungan secara menyeluruh. Audit tersebut diharapkan mencakup aspek perizinan, dampak hidrologi, serta potensi konflik pemanfaatan sumber daya air di kawasan Joglo Arunika.

Formasi menegaskan bahwa kejelasan persoalan ini akan lebih objektif apabila dilakukan peninjauan lapangan secara terbuka dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pengelola, dan masyarakat terdampak.

| anhad |

Pos terkait