Kuningan, faktainfokom.com
Kekecewaan masyarakat terhadap para wakil rakyat terus menguat. Pengamat kebijakan publik, Santos Johar, menilai merosotnya kepercayaan publik merupakan konsekuensi dari akumulasi panjang sikap politik para legislator yang dinilai tak lagi berpihak pada rakyat.
Menurut Santos, masyarakat kini melihat bahwa banyak anggota parlemen lebih berkutat pada urusan partai dan manuver kelompok ketimbang menjalankan mandat konstitusional.
“Yang terjadi sekarang bukan lagi jarak, tapi jurang antara rakyat dan wakilnya. Parlemen seperti hidup dalam dunianya sendiri, sementara masyarakat dibiarkan menunggu tanpa kepastian,” tegasnya.
Santos menilai proses legislasi di parlemen sudah lama bergeser dari esensi. Banyak regulasi, menurutnya, diselesaikan hanya untuk memenuhi target administratif ketimbang menghasilkan kebijakan yang menjawab kebutuhan rakyat.
“Palu diketuk memang, tetapi substansi yang menyentuh kepentingan publik sering hilang. Setelah itu legislatif sibuk dengan lobi dan alokasi internal,” ujarnya.
Ia menyebut berbagai agenda formal sering hanya menjadi rutinitas tanpa kedalaman visi. Hal inilah yang membuat masyarakat merasa ditinggalkan dan tidak lagi melihat parlemen sebagai lembaga yang memperjuangkan suara mereka.
Lebih jauh, Santos menilai lemahnya fungsi pengawasan justru menjadi titik paling krusial.
“Ada terlalu banyak ruang negosiasi ketika berhadapan dengan kekuasaan. Suara kritis melemah, keberanian merosot, dan rakyat kehilangan pembela.”
Santos juga menyoroti narasi defensif yang sering muncul dari parlemen ketika kritik publik menguat. Penjelasan yang muncul, menurutnya, tidak menyelesaikan masalah bahkan memperdalam rasa frustrasi masyarakat.
Akibat kecewa, masyarakat kini lebih memilih menyampaikan aspirasi melalui media sosial, kanal digital, hingga komunitas warga.
“Masyarakat merasa suaranya lebih cepat terdengar di ruang digital daripada melalui wakil rakyat yang justru lebih banyak diam,” ungkapnya.
Santos menegaskan perlunya pembenahan struktural dan budaya politik agar kepercayaan publik tidak benar-benar hilang.
“Rakyat tidak menuntut kesempurnaan. Mereka hanya ingin wakil yang hadir, mendengar, dan bekerja. Itu saja,” katanya.
Menjelang pemilu mendatang, Santos juga mendorong penyederhanaan jumlah partai politik agar efektivitas pemerintahan dan kualitas representasi publik meningkat.
“Idealnya maksimal lima partai, bahkan tiga pun cukup. Tidak ada negara maju dengan jumlah partai sebanyak Indonesia,” tegasnya.
| anhad |







